Denpasar – Guru besar di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) bernama Edy Meiyanto tersandung kasus kekerasan seksual. Kasus ini bergulir sejak 2023 dan dilaporkan pada 2024.
Sekretaris UGM Andi Sandi mengatakan dari hasil pemeriksaan yang dilakukan Satgas PPKS, tindakan Edy ternyata dilakukan di luar kampus. Modusnya yakni dengan mengajak korban berdiskusi maupun pada saat bimbingan.
“Ada diskusi, ada juga bimbingan, ada juga pertemuan di luar untuk membahas kegiatan-kegiatan ataupun lomba yang sedang diikuti,” ungkap Andi Sandi saat dihubungi wartawan, Jumat (4/4/2025) dikutip dari detikJogja.
Dia mengatakan kejadian kekerasan seksual yang dialami korban dilaporkan pada 2024. Pihak kampus kemudian melakukan pemeriksaan meliputi saksi dan korban sebanyak 13 orang.
Adapun kejadian kekerasan seksual itu terjadi pada 2023. Namun, Andi Sandi tak menampik ada informasi yang menyebut jika peristiwa itu terjadi sebelum 2023.
“Ya, jadi yang kami periksa yang diperiksa oleh teman-teman Satgas itu adalah saksi dan juga korban, itu yang terjadi 2023-2024,” jelas Andi Sandi.
“Meskipun informasi di luaran itu terjadi sebelum itu. Kejadian-kejadian sebelum laporan itu kami tidak mengetahuinya. Artinya di tingkat Satgas kami tidak mengetahuinya karena baru reporting itu di 2024,” sambungnya.
Terancam Dipecat
Kini, UGM telah membebastugaskan Edy.
Edy juga terancam dipecat. Andi mengatakan dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Satgas PPKS, Edy disebut melanggar Pasal 3 ayat 2 Peraturan Rektor UGM No 1 Tahun 2023 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UGM.
“Jadi prinsipnya, dari sisi pemeriksaan, itu dilaporkan 2024, pertengahan, dan kemudian akhir 2024 itu direkomendasikan oleh satgas PPKS ke kami, dan keputusan Rektornya itu menyebutkan yang bersangkutan untuk dikenai sanksi sedang sampai berat,” kata Andi Sandi.
Lebih lanjut, Andi Sandi menyebut pimpinan kampus telah menerima surat rekomendasi dari Satgas PPKS pada awal tahun ini. Dari surat itu, kampus kemudian mengajukan surat rekomendasi ke kementerian karena status Edy sebagai ASN.
“Setelah itu kemudian direkomendasikan dan di awal tahun ini, kami itu kemudian mengajukan ke kementerian untuk dilakukan pemeriksaan disiplin kepegawaian karena sanksinya itu sanksi berat sampai sedang, dan beliau itu adalah PNS dan juga guru besar. Jadi kewenangan itu ada pada tiga kementerian,” kata dia.
Akan tetapi, pada pertengahan Maret 2025, ada keputusan Menteri Diktisaintek yang mendelegasikan kewenangan itu kepada pimpinan Perguruan Tinggi Negeri. Pihak kampus, lanjut dia, akan memberikan keputusan setelah libur Lebaran usai.
“Oleh karena itu, kami ini setelah waktu liburan Idul Fitri ini, kami akan menetapkan keputusan itu,” jelas dia. (*)
Sumber : Detikbali